January 14, 2014

review - Bangkok by Moemoe Rizal


Pembaca tersayang, 
Siapkan paspormu dan biarkan cerita bergulir. BANGKOK mengantar sepasang kakak dan adik pada teka-teki yang ditebar sang ibu di kota itu. Betapa perjalanan tidak hanya mempertemukan keduanya dengan hal-hal baru, tetapi juga jejak diri di masa lalu. 
Di kota ini, Moemoe Rizal (penulis Jump dan Fly to The Sky) membawa Edvan dan adiknya bertemu dengan takdirnya masing-masing. Lewat kisah yang tersemat di sela-sela candi Budha Wat Mahathat, di antara perahu-perahu kayu yang mengapung di sekujur sungai Chao Phraya, juga di tengah dentuman musik serta cahaya neonyang menyala di Nana Plaza, Bangkok mengajak pembaca memaknai persaudaraan, persahabatan, dan cinta.
เที่ยวให้สนุก, tîeow hâi sà-nùk, selamat jalan,
EDITOR”


Swasdeekha..
Sebenarnya bukan kata-kata di atas yang membuat saya tertarik untuk membeli novel yang termasuk dalam rangkaian STPC yang digagas oleh Gagasmedia dan Bukune, berjudul Bangkok: The Journal karya Moemoe Rizal yang kurang lebih setebal 436 halaman ini. Sama sekali bukan. Alasan paling utama saya membeli novel dengan cover warna ungu itu adalah karena saya pada saat itu sedang sangat merindukan kota yang dikenal dengan sebutan City of Angels tersebut. Benar saja, ketika saya membuka halaman demi halaman bukunya, saya seperti terseret mesin waktu, menjelajahi lorong-lorong dan setiap sudut kota Bangkok, kota yang pernah menjadi tempat tinggal saya selama kurun waktu enam bulan pada tahun 2012 lalu.
salah satu postcard koleksi saya
doc.pribadi
Kembali ke novel, Bangkok: The Journal bercerita tentang seorang arsitek, Edvan yang telah lama meninggalkan Artika ibunya serta Edvin (atau Edvina) adiknya karena suatu alasan, alasan yang sebenarnya cukup konyol jika dibandingkan dengan alasan kepulangannya kembali. Kepulangan Edvan pun bisa dibilang terlambat sebetulnya karena sang ibu telah meninggal dunia sebelum ia sempat bertemu kembali. Sang ibu meninggalkan warisan berupa rangkaian jurnal yang saling berkaitan yang akan membawa mereka berdua (atau di sini Edvan mengambil peranan lebih banyak) berpetualang di hampir seluruh kota Bangkok.

Jurnal-jurnal Artika, membawa Edvan bertemu dengan orang-orang, dengan kakak-beradik Charm dan Max yang menemani Edvan berkeliling Bangkok, dengan orang-orang yang ada di masa lalu Artika. Orang-orang yang akhirnya menjadi sahabat Artika, yang menyimpan jurnal-jurnal Artika dan menyimpan sosok Artika dalam hati mereka. Noi, Khun Niran, Cinderella, Chang, Apsara, dan Khun Ungsowat. 

Seberang Sungai Chao Phraya
doc.pribadi
Tidak hanya bertemu dengan orang-orang Thailand dengan senyum mereka yang membuat Thailand dikenal sebagai The Land of Smile, kita juga akan dibawa novel ini menjelajah kota Bangkok, belajar beberapa kata dasar Bahasa Thailand, dan bahkan saya bisa membayangkan wanginya Pad Thai (mie goreng khas Thailand) di sini. Saya bisa merasakan dan membayangkan kembali kemegahan bandara Suvarnabhumi, riuh rendah suasana pecinan Samphan Tawong, histeria naik tuk-tuk yang sopirnya ugal-ugalan ngalah-ngalahin bis Restu Panda jurusan Malang-Kediri hahaha, merasakan kembali tiupan angin bercampur percikan air ketika menyusuri sungai Chao Phraya dengan perahu motor, menikmati (saya sih berjengit ketika nonton) pertunjukan Muay Thai (kick boxing ala Thailand), berjalan-jalan di area Grand Palace yang panas dan melihat Wat Pho (patung emas Budha tidur) –waktu itu saya sempet mbatin, apa ya itu beneran emas semua hahahha, hingga menyusuri eksotisme pantai Pattaya di selatan kota Bangkok.

Wat Pho sang Budha Tidur
doc.pribadi
Bagian dalam Dari Grand Palace
doc.pribadi
Semua tempat di novel itu berhasil membuat saya mewek-mewek gak jelas karena kangen kota Bangkok dan mewek lagi karena membaca quote yang ditujukan pada Khun Niran oleh Artika,
Your scar makes you unique. It makes you more valuable than the rest of people with no scar. It’s God’s way to say, ‘You’re my favorite. I make you different so I can always see you wherever you are'.
Bangkok: The Journal juga memaparkan beberapa isu yang mungkin dianggap sebagai hal yang aneh atau tidak pantas jika hal itu terjadi di Indonesia. Seperti isu LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) dan isu sosial lain seperti isu perusakan lingkungan dan sebagainya.

Anyhoo, sejauh ini hal yang mengganggu saya dalam proses pembacaan adalah kesulitan membaca bagian jurnal-jurnal Artika, karena jurnal-jurnal itu dicetak dengan font tegak bersambung dan background yang terlalu gelap membuat saya harus memicingkan mata dan mengeluarkan usaha lebih untuk membacanya dengan nyaman.

Hal yang mengganggu lain adalah bumbu cintanya agak terasa klise jika dibandingkan dengan hubungan persaudaraan antara Edvan dengan Edvin (Edvina) terlebih setelah Edvan tau kalau Edvin ternyata seorang transgender. Hal ini juga sedikit mengingatkan saya pada teman-teman lab saya di Bangkok dulu, yang sebagian besar gay atau lesbian atau transgender. Pada awalnya saya sulit menerima bahwa LGBT itu benar-benar ada di kehidupan sehari-hari saya. Namun pada perjalanannya, akhirnya saya juga bisa menerima kehadiran mereka, justru mereka lah yang banyak membantu saya ketika saya mengalami kesulitan di lab, mereka juga orang-orang paling fair yang pernah saya temui lepas dari status mereka. Dan lagipula siapakah saya, saya tidak berhak untuk menjustifikasi hidup seseorang hanya karena seseorang itu memilih jalan hidup yang berbeda dengan saya kan?

Pada akhirnya saya melihat Bangkok:The Journal bukan sekedar novel pengisi waktu luang, melainkan sebagai pengingat ketika saya sedang sangat merindukan kota Bangkok dan teman-teman lab saya dengan segala warna mereka.

Empat dari lima bintang untuk Bangkok: The Journal.         
Khop khun mak na kha untuk Moemoe Rizal atas cerita tentang Bangkok yang menawan.

January 06, 2014

quote - a Hassan's letter to his brother, Amir agha (Kite Runner by Khaled Hossaeini)

In the name of God, the merciful, the compassionate.

Amir agha, with my deepest respects. My wife and son and I pray this letter finds you in fine health, and in the light of God's good graces.
I'm hopeful that one day I will hold one of your letters in my hands and read of your life in America. I am trying to learn English. It's such a tricky language. But one day, agha. I miss your stories.
I've included a picture of me and my son, Sohrab. He's a good boy. Rahim Khan and I taught him how to read and write, so he doesn't grow up stupid like his father. And can he shoot with that slingshot you gave me!
But I fear for him, Amir agha. The Afghanistan of our youth is long dead. Kindness is gone from the land, and you cannot escape the killings. Always the killings. I dream that God will guide us to a better day. I dream that my son will grow up to be a good person, a free person, an important person.
I dream that flowers will bloom in the streets of Kabul again, and music will play in the samovar houses, and kites will fly in the skies. And I dream that someday you will return to Kabul to revisit the land of our childhood. If you do, you'll find an old faithful friend waiting for you.

May God be with you always.

Hassan