Konon, kalau tidak mengerti, harus bertanya. Giliran banyak bertanya, diancam mati. Bisa jadi, kalau mengerti harus mati.
Pernahkah kau terluka dan meminta pertolongan, tapi mereka malah mengira kau mengada-ada?
Terkadang memang lebih baik bungkam, tapi izinkan jemari ini yang memberi tahumu.
Karena ternyata, tidak ada akhir yang bahagia, selama memang belum selesai dan selayaknya tenteram.
Berdasarkan kisah nyata seorang mantan TKI yang berharap hidup lega tanpa drama.
Tak perlu dipercaya karena semua berhak mencari fakta.
Salam damai,
Valiant Budi Vabyo
"Seandainya kita bertumbuh kembang terbiasa melihat perbedaan warna rambut, dialek bahasa, warna mata, mungkin kita akan lebih mudah menerima perbedaan. Atau setidaknya, tidak mempertanyakan kenapa manusia bisa tak sama." (Kedai 1002 Mimpi - hal. 299)
Sebelumnya saya sudah membaca Kedai 1001 Mimpi hasil pinjaman dari
Non Inge, dan saya cukup terkesan dengan petualangan
Vabyo di Jazirah Arab. Saya akhirnya memutuskan untuk membeli buku kedua tanpa pikir panjang.
Buku kedua yang juga diterbitkan oleh Gagas Media ini menceritakan pengalaman Vabyo ketika dia sudah merasa bebas dari mimpi buruk selama ia jadi TKI, tetapi ternyata mimpi-mimpi buruk itu masih ada dan beberapa menjadi teror-teror dalam dunia maya dan lebih buruk lagi teror-teror itu berlanjut di kehidupan nyata.
Bab awal buku ini menceritakan kelanjutan bab akhir buku pertama, dimana Vabyo akhirnya berhasil meraih kebebasannya dengan berhasil ‘kabur’ ke Bahrain. Bab ini juga mengungkap bagaimana perlakuan para petugas imigrasi Indonesia pada TKI. Perlakuan yang tidak bisa dibilang ramah sebetulnya.
There’s no happily ever after in the real world.
Secara keseluruhan, buku setebal 384 halaman ini menceritakan kehidupan Vabyo selama kepulangannya ke Indonesia. Beberapa bab berisi tentang ulangan kenangan ketika ia menjadi TKI, beberapa yang lain menceritakan pengalamannya mengikuti kelas self-healing hingga mengkonsumsi obat penenang untuk melepaskan diri dari teror, bab lain bercerita tentang perjalanannya ke beberapa tempat dengan tujuan menenangkan diri dan perjalanannya ke negara-negara Eropa. Beberapa kawan Vabyo yang muncul di buku pertama juga mendapat cerita tersendiri dalam bab yang lain.
Satu hal yang cukup mengganggu saya ketika membaca, di buku ini Vabyo terkesan nanggung dalam menyampaikan cerita pada setiap bab-nya sehingga cukup membingungkan saya dan membuat bertanya-tanya “Maksudnya dia cerita kayak gini apa sih?”
Ada satu percakapan yang membuat saya nyengir cukup lebar ketika membacanya,
"Anda siap mati dengan menulis buku ini?"
"Maaf ya, memangnya Anda -yang tidak menulis buku ini- gak akan mati?"
"Public figure apa hell figure lo? Siap siap busuk di neraka!"
"Yah, kalau surga ternyata isinya orang yang senang mencaci, mengutuk seperti Anda, saya juga ogah!" (Kedai 1002 Mimpi - hal. 131).
Jika dibandingkan dengan buku pertama, saya lebih menyukai kisah-kisah Vabyo di buku pertama, sehingga buku ini hanya mendapat 2 dari 5 bintang.